BLOG SIPITUAMA - Awalnya saya membuat blog ini untuk mengajak para kaum muda batak khusus pomparan sipitu ama agar mengingat siapa dirinya (orang berdarah batak). Sehingga tahu tarombo dan mengenal dekat saudara-saudaranya di muka bumi ini. Disamping itu, alangkah baiknya kami-kami kaum muda ini juga mengenal Tokoh-Tokoh atau orang terkemuka dari Pomparan Sipitu Ama. Contohnya adalah Nahum Situmorang.
Leonardo, salah satu Kompasioner menulis tentang Tokoh Nahum Situmorang. Tulisannya begitu menggugah hati dan layak untuk kita simak. (Kompasiana.Com, 26 October 2014)
Nahum Situmorang, Maestro Musik yang Kesepian Hingga Akhir
Suatu malam di awal Oktober baru lalu,di sebuah warung tuak di pinggir jalan raya Tarutung-Siborongborong, sejumlah parmitu (sebutan populer untuk orang Batak yang sering mangkal di kedai tuak sambil menyanyi), sedang asyik mendendangkan lagu-lagu Batak ciptaan komponis beken, Nahum Situmorang. Uniknya, semua lagu yang dinyanyikan lima pria Batak itu adalah ciptaan Nahum Situmorang, komponis Batak legendaris yang namanya abadi dalam histori lagu Batak nostalgia yang tak lekang disiram air hujan tak lapuk dimakan waktu.
Seorang pemain gitar begitu piawai mengiringi empat pria lainnya membawakan lagu Lissoy yang terkenal. Mereka tampak bernyanyi penuh perasaan, seolah tak acuh suasana sekitar. Sambil sesekali meneguk tuaknya, silih berganti lagu karya Nahum dilantunkan.
“ Kenapa semua lagunya Guru Nahum?”, tanya penulis ketika para parmitu itu jedah sejenak.
Salah seorang menjawab, hanya kebetulan semacam acara mengenang komponis besar Nahum Situmorang,mendorong mereka kumpul di kedai itu. “Almarhum guru Nahum Situmorang adalah komponis Batak terbesar yang pernah dilahirkan,meski pun masih ada beberapa komponis Batak lainnya yang hampir setara dengan Nahum,” jelas pria bermarga Purba sambil mengajak penulis mencicipi sedikit tuak bagot (jenis tuak dari pohon enau) yang tersaji dalam sebuah kendi di atas meja. Ternyata ke empat pria itu bukan warga setempat. Mereka hanya kebetulan singgah dalam perjalanan dari Siantar menuju Sibolga. Saat itu hujan gerimis, dan mereka memutuskan singgah sebentar. “Kami lihat ada gitar, yah langsung saja dimainkan”, ujarnya tertawa lepas.
Purba mengatakan, Nahum Situmorang adalah “pendekar seni musik”(maestro) Batak yang telah menciptakan ratusan lagu yang tetap popular hingga kini. Bahkan banyak lagu ciptaan Nahum belum sempat dirilis, sampai ia meninggal pada 1969. Kepiawaian Nahum mencipta lagu, setara dengan komponis Batak lainnya seperti Ismail Hutajulu, Guru Sidik Sitompul (S.Dis), Tilhang Gultom. Sejumlah lagu ciptaan Nahum yang terkenal, di antaranya Lissoy, Tabo Dekke Niura, Boha Pandungdung Bulung, Sombuma roham, Dijou au mulak tu Rura Silindung, O Luat Pahae, Pulo Samosir do, Ketabo tu Sidimpuan i, Marragam-ragam, Dekke Jahir, Marsahit Lungun, Bunga na Bontar, dan banyak lainnya yang terlalu banyak disebut satu persatu. Semua lagu Nahum sudah dirilis dalam format album kaset, kepingan vcd/dvd, dengan penyanyi berbeda. Mulai dari Trio Lasidos, hingga vokal grup yang berunculan dari waktu ke waktu.
Dari beberapa referensi, bukan rahasia lagi kalau Nahum Situmorang sampai akhir hayatnya memilih hidup sendiri (melajang),konon karena patah hati. Tak jelas ceritanya siapa gadis yang dulu begitu dicintainya, sehingga sampai usia 60 lebih, ia tidak kawin. Tapi menurut cerita, si gadis yang membuatnya patah hati adalah seorang gadis rupawan, dan masih cicit seorang tokoh pahlawan nasional. Gadis jelita yang kemudian kawin dengan seorang dokter itu, pernah diwawancarai wartawan di Tuktuk,Samosir, menyangkut kedekatannya dengan Nahum di masa muda. Namun dia menepis anggapan bahwa ia pernah dekat dengan Nahum dalam arti spesial.”Mungkin saja dia (Nahum) memendam cinta pada saya, namun tak pernah diungkapkan,” tutur wanita yang rambutnya sudah ubanan ketika itu. Dia menyebut semasa muda dulu di Tarutung, sering beramai-ramai marguru ende (latihan koor) ke gereja. Nahum sering ikut menghidupkan suasana dengan main gitar dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Nahum Situmorang yang nama samarannya “Humstrong”, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 13 Februari 1908. Semasa hidupnya ia sempat mengecap pendidikan di Kwekschool Gunung Sahari, Jakarta.Tapi kemudian Belanda menutup sekolah itu karena dianggap berbahaya. Dari sana Nahum melanjut ke Lembang Bandung pada 1927, tamat 1928. Tapi ia tidak diterima mengajar di sekolah negeri karena dianggap sebagai pejuang yang memusuhi Belanda. Nahum kembali ke Sibolga dan mengajar di Particuliere HIS van Batakse Studifonds. Sejak itulah panggilannya sehari-hari disebut “Guru Nahum”. Dari Sibolga, Nahum lama menetap di Tarutung. Dia menciptakan banyak lagu semasa di Tarutung. Salah seorang adiknya mengajar di SMP Nommensen Sigompulon. SMP itu belakangan tutup.
Sejak remaja bakatnya menyanyi dan mencipta lagu sudah kelihatan. Tapi bakat itu makin menonjol setelah Nahum pindah ke Medan 1950. Keindahan alam Tapanuli terutama Danau Toba dan Lembah Silindung mengundang banyak inspirasinya mencipta lagu. Di antaranya lagu Rura Silindung,Pulo Samosir,Sitogol-Sitogol,Tao Toba, Marina (pernah menghiasi film Marina pada 1960 an). Selain itu Nahum juga mencipta lagu Lontung Sisiamarina,yang melukiskan sejarah sembilan marga turunan Raja Lontung, termasuk marga Situmorang.
Menurut Purba, semasa hidupnya Guru Nahum sering menghabiskan waktunya bergaul dengan rekannya sesama penyanyi di lapo-lapo tuak di Tarutung, Siborongborong, Sibolga, Medan . Di sana ia bertemu parmitu,abang beca, bahkan pemain judi. Dari pergaulannya dengan ragam manusia Nahum makin produktif mencipta lagu. Guru Nahum sering memainkan gitar buatan Sipoholon, yang menurutnya tak kalah dari gitar buatan luar negeri.
Pernah suatu malam pada Oktober 1959, Nahum melintas di jalan Ambon, Medan . Tiba-tiba ia tertegun mendengar tangisan bayi dari sebuah rumah. Nahum tertarik mendekat untuk memantau situasi di rumah itu. Rupanya si bayi sedang rewel tak mau tidur walau ibunya berusaha meninabobonya dalam ayunan. Sang ibu menggerutu, karena suaminya belum pulang larut malam. Dari situlah Nahum mendapat ilham menciptakan lagunya berjudul Modom ma damang ucok. Salah satu lagu sentimental yang disukai perempuan Batak. Lagu itu pernah dinyanyikan Nia Daniaty dalam album lagu Batak produksi Akurama Record. Syair lagu itu melukiskan kesetiaan dan perjuangan seorang perempuan Batak mengasuh anaknya, sementara saang suami asyik di kedai tuak atau main judi.
Diduga, karena Nahum begitu sibuknya mencipta lagu, sehingga ia sering begadang. Faktor kurang tidur, membuat kesehatannya cepat menurun di hari tuanya. Nahum mulai sakit-sakitan, namun dalam keadaan sakit pun ia tetap mencipta lagu. Ketika akhirnya Nahum meninggal dunia di Medan pada 20 Oktober 1969, suasana terasa memilukan. Karena sampai akhir hidupnya tak ada isteri atau anak-anak yang melepas kepergiannya. Ia telah memilih hidup sendiri dengan jiwa seninya. Nahum Situmorang dimakamkan di pekuburan Jalan Gajah Mada,Medan. Makamnya menjadi salah satu obyek wisata bagi para pengagumnya, menyimak kembali aspek kesejarahan komponis besar itu. Banyak generasi muda sekarang tak tahu lagi persis siapa dan bagaimana guru Nahum melintasi kehidupannya di masa silam, tapi mereka mau meluangkan waktunya ikut membuka lembaran sejarah, seraya mengumandangkan ragam lagu ciptaan Nahum yang memang memiliki karakteristik tersendiri, tentang alam Tanah Batak, tentang panorama indah Danau Toba, tentang Lembah Silindung yang dicintainya, tentang kehidupan masa silam yang tak terbandingkan lagi dengan nuansa kekinian.
Pada masa mudanya, Nahum lama bergaul di Tarutung. Ia menyukai alam dan masyarakatnya yang solider. Marga- marga Situmorang merasa bangga, karena dalam salah satu lagu ciptaannya, Nahum menguntai syair molo masihol ho tu Silindung, endehon ma ende ni Situmorang (Kalau rindu ke Silindung nyanyikanlah lagunya Situmorang). “ Terus terang saya bangga, karena Silindung itu bukan kampung halamannya marga Situmorang tapi nyanyian untuk Silindung justru lagu Situmorang”, kata Martua Situmorang, seorang pensiunan guru STM Pansurnapitu . Lagu Rura Silindung memang salah satu lagu rakyat berirama sentimental,yang sering dinyanyikan dalam berbagai event penting. Tak heran kalau alm KK Mangatas Panggabean mengatakan lagu tersebut sudah seperti “lagu kebangsaan” bagi warga Silindung.
Sebagai kenangan dan penghargaan atas jasa Nahum Situmorang dalam pengembangan lagu rakyat khas Batak, Pemda Tapanuli Utara telah menabalkan namanya menjadi nama sebuah jalan di kawasan Sigompulon Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Prasasti abadi untuk sang maestro.
Seorang komponis boleh saja sudah tiada, tapi lagu ciptaannya akan abadi sepanjang masa. Tapi menjadi pertanyaan sekarang, akankah masih ada lahir komponis dengan talenta, visi, dan misi Guru Nahum di tengah semarak kemunculan para pengarang lagu dan penyanyi asal Tapanuli? Sejarah juga yang akan mencatat. (Leonardo Jt/ diperkaya berbagai sumber)
Leonardo, salah satu Kompasioner menulis tentang Tokoh Nahum Situmorang. Tulisannya begitu menggugah hati dan layak untuk kita simak. (Kompasiana.Com, 26 October 2014)
Nahum Situmorang, Maestro Musik yang Kesepian Hingga Akhir
Suatu malam di awal Oktober baru lalu,di sebuah warung tuak di pinggir jalan raya Tarutung-Siborongborong, sejumlah parmitu (sebutan populer untuk orang Batak yang sering mangkal di kedai tuak sambil menyanyi), sedang asyik mendendangkan lagu-lagu Batak ciptaan komponis beken, Nahum Situmorang. Uniknya, semua lagu yang dinyanyikan lima pria Batak itu adalah ciptaan Nahum Situmorang, komponis Batak legendaris yang namanya abadi dalam histori lagu Batak nostalgia yang tak lekang disiram air hujan tak lapuk dimakan waktu.
Seorang pemain gitar begitu piawai mengiringi empat pria lainnya membawakan lagu Lissoy yang terkenal. Mereka tampak bernyanyi penuh perasaan, seolah tak acuh suasana sekitar. Sambil sesekali meneguk tuaknya, silih berganti lagu karya Nahum dilantunkan.
“ Kenapa semua lagunya Guru Nahum?”, tanya penulis ketika para parmitu itu jedah sejenak.
Salah seorang menjawab, hanya kebetulan semacam acara mengenang komponis besar Nahum Situmorang,mendorong mereka kumpul di kedai itu. “Almarhum guru Nahum Situmorang adalah komponis Batak terbesar yang pernah dilahirkan,meski pun masih ada beberapa komponis Batak lainnya yang hampir setara dengan Nahum,” jelas pria bermarga Purba sambil mengajak penulis mencicipi sedikit tuak bagot (jenis tuak dari pohon enau) yang tersaji dalam sebuah kendi di atas meja. Ternyata ke empat pria itu bukan warga setempat. Mereka hanya kebetulan singgah dalam perjalanan dari Siantar menuju Sibolga. Saat itu hujan gerimis, dan mereka memutuskan singgah sebentar. “Kami lihat ada gitar, yah langsung saja dimainkan”, ujarnya tertawa lepas.
Purba mengatakan, Nahum Situmorang adalah “pendekar seni musik”(maestro) Batak yang telah menciptakan ratusan lagu yang tetap popular hingga kini. Bahkan banyak lagu ciptaan Nahum belum sempat dirilis, sampai ia meninggal pada 1969. Kepiawaian Nahum mencipta lagu, setara dengan komponis Batak lainnya seperti Ismail Hutajulu, Guru Sidik Sitompul (S.Dis), Tilhang Gultom. Sejumlah lagu ciptaan Nahum yang terkenal, di antaranya Lissoy, Tabo Dekke Niura, Boha Pandungdung Bulung, Sombuma roham, Dijou au mulak tu Rura Silindung, O Luat Pahae, Pulo Samosir do, Ketabo tu Sidimpuan i, Marragam-ragam, Dekke Jahir, Marsahit Lungun, Bunga na Bontar, dan banyak lainnya yang terlalu banyak disebut satu persatu. Semua lagu Nahum sudah dirilis dalam format album kaset, kepingan vcd/dvd, dengan penyanyi berbeda. Mulai dari Trio Lasidos, hingga vokal grup yang berunculan dari waktu ke waktu.
Dari beberapa referensi, bukan rahasia lagi kalau Nahum Situmorang sampai akhir hayatnya memilih hidup sendiri (melajang),konon karena patah hati. Tak jelas ceritanya siapa gadis yang dulu begitu dicintainya, sehingga sampai usia 60 lebih, ia tidak kawin. Tapi menurut cerita, si gadis yang membuatnya patah hati adalah seorang gadis rupawan, dan masih cicit seorang tokoh pahlawan nasional. Gadis jelita yang kemudian kawin dengan seorang dokter itu, pernah diwawancarai wartawan di Tuktuk,Samosir, menyangkut kedekatannya dengan Nahum di masa muda. Namun dia menepis anggapan bahwa ia pernah dekat dengan Nahum dalam arti spesial.”Mungkin saja dia (Nahum) memendam cinta pada saya, namun tak pernah diungkapkan,” tutur wanita yang rambutnya sudah ubanan ketika itu. Dia menyebut semasa muda dulu di Tarutung, sering beramai-ramai marguru ende (latihan koor) ke gereja. Nahum sering ikut menghidupkan suasana dengan main gitar dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Nahum Situmorang yang nama samarannya “Humstrong”, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 13 Februari 1908. Semasa hidupnya ia sempat mengecap pendidikan di Kwekschool Gunung Sahari, Jakarta.Tapi kemudian Belanda menutup sekolah itu karena dianggap berbahaya. Dari sana Nahum melanjut ke Lembang Bandung pada 1927, tamat 1928. Tapi ia tidak diterima mengajar di sekolah negeri karena dianggap sebagai pejuang yang memusuhi Belanda. Nahum kembali ke Sibolga dan mengajar di Particuliere HIS van Batakse Studifonds. Sejak itulah panggilannya sehari-hari disebut “Guru Nahum”. Dari Sibolga, Nahum lama menetap di Tarutung. Dia menciptakan banyak lagu semasa di Tarutung. Salah seorang adiknya mengajar di SMP Nommensen Sigompulon. SMP itu belakangan tutup.
Sejak remaja bakatnya menyanyi dan mencipta lagu sudah kelihatan. Tapi bakat itu makin menonjol setelah Nahum pindah ke Medan 1950. Keindahan alam Tapanuli terutama Danau Toba dan Lembah Silindung mengundang banyak inspirasinya mencipta lagu. Di antaranya lagu Rura Silindung,Pulo Samosir,Sitogol-Sitogol,Tao Toba, Marina (pernah menghiasi film Marina pada 1960 an). Selain itu Nahum juga mencipta lagu Lontung Sisiamarina,yang melukiskan sejarah sembilan marga turunan Raja Lontung, termasuk marga Situmorang.
Menurut Purba, semasa hidupnya Guru Nahum sering menghabiskan waktunya bergaul dengan rekannya sesama penyanyi di lapo-lapo tuak di Tarutung, Siborongborong, Sibolga, Medan . Di sana ia bertemu parmitu,abang beca, bahkan pemain judi. Dari pergaulannya dengan ragam manusia Nahum makin produktif mencipta lagu. Guru Nahum sering memainkan gitar buatan Sipoholon, yang menurutnya tak kalah dari gitar buatan luar negeri.
Pernah suatu malam pada Oktober 1959, Nahum melintas di jalan Ambon, Medan . Tiba-tiba ia tertegun mendengar tangisan bayi dari sebuah rumah. Nahum tertarik mendekat untuk memantau situasi di rumah itu. Rupanya si bayi sedang rewel tak mau tidur walau ibunya berusaha meninabobonya dalam ayunan. Sang ibu menggerutu, karena suaminya belum pulang larut malam. Dari situlah Nahum mendapat ilham menciptakan lagunya berjudul Modom ma damang ucok. Salah satu lagu sentimental yang disukai perempuan Batak. Lagu itu pernah dinyanyikan Nia Daniaty dalam album lagu Batak produksi Akurama Record. Syair lagu itu melukiskan kesetiaan dan perjuangan seorang perempuan Batak mengasuh anaknya, sementara saang suami asyik di kedai tuak atau main judi.
Diduga, karena Nahum begitu sibuknya mencipta lagu, sehingga ia sering begadang. Faktor kurang tidur, membuat kesehatannya cepat menurun di hari tuanya. Nahum mulai sakit-sakitan, namun dalam keadaan sakit pun ia tetap mencipta lagu. Ketika akhirnya Nahum meninggal dunia di Medan pada 20 Oktober 1969, suasana terasa memilukan. Karena sampai akhir hidupnya tak ada isteri atau anak-anak yang melepas kepergiannya. Ia telah memilih hidup sendiri dengan jiwa seninya. Nahum Situmorang dimakamkan di pekuburan Jalan Gajah Mada,Medan. Makamnya menjadi salah satu obyek wisata bagi para pengagumnya, menyimak kembali aspek kesejarahan komponis besar itu. Banyak generasi muda sekarang tak tahu lagi persis siapa dan bagaimana guru Nahum melintasi kehidupannya di masa silam, tapi mereka mau meluangkan waktunya ikut membuka lembaran sejarah, seraya mengumandangkan ragam lagu ciptaan Nahum yang memang memiliki karakteristik tersendiri, tentang alam Tanah Batak, tentang panorama indah Danau Toba, tentang Lembah Silindung yang dicintainya, tentang kehidupan masa silam yang tak terbandingkan lagi dengan nuansa kekinian.
Pada masa mudanya, Nahum lama bergaul di Tarutung. Ia menyukai alam dan masyarakatnya yang solider. Marga- marga Situmorang merasa bangga, karena dalam salah satu lagu ciptaannya, Nahum menguntai syair molo masihol ho tu Silindung, endehon ma ende ni Situmorang (Kalau rindu ke Silindung nyanyikanlah lagunya Situmorang). “ Terus terang saya bangga, karena Silindung itu bukan kampung halamannya marga Situmorang tapi nyanyian untuk Silindung justru lagu Situmorang”, kata Martua Situmorang, seorang pensiunan guru STM Pansurnapitu . Lagu Rura Silindung memang salah satu lagu rakyat berirama sentimental,yang sering dinyanyikan dalam berbagai event penting. Tak heran kalau alm KK Mangatas Panggabean mengatakan lagu tersebut sudah seperti “lagu kebangsaan” bagi warga Silindung.
Sebagai kenangan dan penghargaan atas jasa Nahum Situmorang dalam pengembangan lagu rakyat khas Batak, Pemda Tapanuli Utara telah menabalkan namanya menjadi nama sebuah jalan di kawasan Sigompulon Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Prasasti abadi untuk sang maestro.
Seorang komponis boleh saja sudah tiada, tapi lagu ciptaannya akan abadi sepanjang masa. Tapi menjadi pertanyaan sekarang, akankah masih ada lahir komponis dengan talenta, visi, dan misi Guru Nahum di tengah semarak kemunculan para pengarang lagu dan penyanyi asal Tapanuli? Sejarah juga yang akan mencatat. (Leonardo Jt/ diperkaya berbagai sumber)
Nahum Situmorang, Maestro Musik yang Kesepian Hingga Akhir
Reviewed by Abang Ringo
on
3:35:00 PM
Rating:
No comments: